Rabu, 28 Agustus 2013

BELAJAR KESETARAAN GENDER ALA PEREMPUAN DESA



Kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan telah menjadi kajian modern yang hangat diperbincangkan. Sebagai mahasiswa, kami pun tidak lepas dari kajian ini, baik di dalam kelas sebagai bagian dari studi kami maupun di luar kelas, di berbagai forum yang dengan penuh semangat menyuarakan kesetaraan gender. Di Indonesia tema ini sungguh hangat, mengingat masih banyak perempuan yang dalam istilah Bahasa Jawa disebut sebagai konco wingking. Meskipun berbagai tindakan telah dianggap sebagai tindakan afirmatif terhadap perempuan, kesetaraan kesempatan kerja bagi buruh perempuan,tak dapat dipungkiri bahwa masih banyak perempuan Indonesia yang masih belum benar-benar disetarakan.

Jauh dari hiruk pikuk kota, dari forum-forum akademis di mana kaum terpelajar berdebat tentang feminisme, kami hidup bersama masyarakat desa, melihat sendiri bagaimana
cara mereka hidup dan mencoba belajar bermasyarakat dengan mereka. Di desa, tepatnya di Dukuh Sembuku, Desa Dadapayu, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul, kami melihat kenyataan bahwa keberadaan perempuan bukan sekadar konco wingking.

Perempuan di sini merupakan contoh nyata perempuan tangguh yang tidak hanya tahu soal dapur, mengurus suami dan anak. Pemanfaatan waktu mereka sungguh efektif. Meski masih banyak yang belum mengenyam pendidikan yang memadai, mereka berbagi peran secara tradisional, secara kultural menerapkan kesetaraan gender. Perempuan desa ini melakukan emansipasi dengan caranya sendiri.

Perempuan desa barangkali berbeda dengan perempuan kota, yang menuntut persamaan hak dan kesempatan di berbagai bidang, lapangan kerja, urusan rumah tangga, pengambilan keputusan, di desa aroma tuntutan seperti itu hampir tidak ada. Semua berlangsung secara alami. Untuk mengatakan apakah para perempuan di sini masih tertindas dari kaum laki-laki memang kompleks, dibutuhkan penelusuran berbagai perspektif feminisme. Namun, kami tidak menelisik sejauh itu melainkan melihat secara langsung bagaimana peran perempuan dalam kehidupan masyarakat desa.

Secara pendidikan, sulit untuk menyimpulkan bahwa laki-laki lebih berpendidikan. Jumlah warga berpendidikan memadai lebih banyak dipengaruhi faktor usia, bukan gender. Perempuan di sini memang mengurus rumah tangga, tapi tak sedikit dari mereka yang bekerja. Sebagian besar adalah bertani, meski ada beberapa yang menjadi guru atau pedagang. Di dusun ini, kader-kader dusun banyak ditempati perempuan, secara kuantitatif pun setara.

Perempuan di sini berbagi kerja dengan laki-laki. Mereka seringkali ke sawah bersama, sama-sama menyiangi, menanam bibit, mencari rumput untuk ternak, dan pekerjaan lain yang hampir sama dengan laki-laki. Ketika diadakan kerja bakti, para perempuan ini pun ikut mengeluarkan otot untuk bekerja. Tak ada perbedaan besar, mereka pun mengangkat batu dan membawa adonan semen, sama seperti laki-laki. Di sinilah kami mulai berpikir, di masyarakat yang masih tradisional dan sederhana ini, mereka mungkin tidak mengenal seluk beluk feminisme seperti di dunia modern, tapi apakah perempuan ini merasa tertindas?

Jawabnya adalah tidak. Para perempuan ini memiliki peran yang setara. Mereka sering melakukan pekerjaan yang terkesan maskulin, sesuatu yang justru jarang kami temui di kota. Sebaliknya, para laki-laki pun tak jarang melakukan pekerjaan yang feminin, seperti misalnya membuatkan makanan dan minuman pada acara-acara besar, seperti rapat atau hajatan. Laki-laki yang lebih banyak mengerjakan urusan ini, termasuk mencuci gelas dan piring kotor usai digunakan. Mereka jugalah yang bertugas memasak daging dan air, sementara para perempuan menyiapkan nasi dan sayuran. Keadaan ini memang sangat sederhana, tak seberapa dan hanya secuil kecil dari konsep yang ditelaah dalam feminisme. Kami kemudian bertanya, jika para perempuan ini telah merasa bahagia dan merdeka, mereka punya kebebasan untuk bekerja dengan kesempatan setara, bukankah lokalitas ini menunjukkan adanya kesetaraan gender? (KKN UNY 68)

Tidak ada komentar: