Kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan telah
menjadi kajian modern yang hangat diperbincangkan. Sebagai mahasiswa, kami pun
tidak lepas dari kajian ini, baik di dalam kelas sebagai bagian dari studi kami
maupun di luar kelas, di berbagai forum yang dengan penuh semangat menyuarakan
kesetaraan gender. Di Indonesia tema ini sungguh hangat, mengingat masih banyak
perempuan yang dalam istilah Bahasa Jawa disebut sebagai konco wingking. Meskipun berbagai tindakan telah dianggap sebagai
tindakan afirmatif terhadap perempuan, kesetaraan kesempatan kerja bagi buruh
perempuan,tak dapat dipungkiri bahwa masih banyak perempuan Indonesia yang
masih belum benar-benar disetarakan.
Jauh dari hiruk pikuk kota, dari forum-forum akademis
di mana kaum terpelajar berdebat tentang feminisme, kami hidup bersama
masyarakat desa, melihat sendiri bagaimana
cara mereka hidup dan mencoba
belajar bermasyarakat dengan mereka. Di desa, tepatnya di Dukuh Sembuku, Desa
Dadapayu, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul, kami melihat kenyataan
bahwa keberadaan perempuan bukan sekadar konco
wingking.
Perempuan di sini merupakan contoh nyata perempuan
tangguh yang tidak hanya tahu soal dapur, mengurus suami dan anak. Pemanfaatan
waktu mereka sungguh efektif. Meski masih banyak yang belum mengenyam
pendidikan yang memadai, mereka berbagi peran secara tradisional, secara kultural
menerapkan kesetaraan gender. Perempuan desa ini melakukan emansipasi dengan
caranya sendiri.
Perempuan desa barangkali berbeda dengan perempuan
kota, yang menuntut persamaan hak dan kesempatan di berbagai bidang, lapangan
kerja, urusan rumah tangga, pengambilan keputusan, di desa aroma tuntutan
seperti itu hampir tidak ada. Semua berlangsung secara alami. Untuk mengatakan
apakah para perempuan di sini masih tertindas dari kaum laki-laki memang
kompleks, dibutuhkan penelusuran berbagai perspektif feminisme. Namun, kami
tidak menelisik sejauh itu melainkan melihat secara langsung bagaimana peran
perempuan dalam kehidupan masyarakat desa.
Secara pendidikan, sulit untuk menyimpulkan bahwa
laki-laki lebih berpendidikan. Jumlah warga berpendidikan memadai lebih banyak
dipengaruhi faktor usia, bukan gender. Perempuan di sini memang mengurus rumah
tangga, tapi tak sedikit dari mereka yang bekerja. Sebagian besar adalah
bertani, meski ada beberapa yang menjadi guru atau pedagang. Di dusun ini, kader-kader
dusun banyak ditempati perempuan, secara kuantitatif pun setara.
Perempuan di sini berbagi kerja dengan laki-laki. Mereka
seringkali ke sawah bersama, sama-sama menyiangi, menanam bibit, mencari rumput
untuk ternak, dan pekerjaan lain yang hampir sama dengan laki-laki. Ketika diadakan
kerja bakti, para perempuan ini pun ikut mengeluarkan otot untuk bekerja. Tak ada
perbedaan besar, mereka pun mengangkat batu dan membawa adonan semen, sama
seperti laki-laki. Di sinilah kami mulai berpikir, di masyarakat yang masih
tradisional dan sederhana ini, mereka mungkin tidak mengenal seluk beluk feminisme
seperti di dunia modern, tapi apakah perempuan ini merasa tertindas?
Jawabnya adalah tidak. Para perempuan ini memiliki
peran yang setara. Mereka sering melakukan pekerjaan yang terkesan maskulin,
sesuatu yang justru jarang kami temui di kota. Sebaliknya, para laki-laki pun
tak jarang melakukan pekerjaan yang feminin, seperti misalnya membuatkan
makanan dan minuman pada acara-acara besar, seperti rapat atau hajatan. Laki-laki
yang lebih banyak mengerjakan urusan ini, termasuk mencuci gelas dan piring
kotor usai digunakan. Mereka jugalah yang bertugas memasak daging dan air,
sementara para perempuan menyiapkan nasi dan sayuran. Keadaan ini memang sangat
sederhana, tak seberapa dan hanya secuil kecil dari konsep yang ditelaah dalam feminisme.
Kami kemudian bertanya, jika para perempuan ini telah merasa bahagia dan
merdeka, mereka punya kebebasan untuk bekerja dengan kesempatan setara, bukankah
lokalitas ini menunjukkan adanya kesetaraan gender? (KKN UNY 68)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar